Orientasi shopping dalam menunjang marketing dan bisnis E-Commerce

Beberapa tahun belakangan ini, e-commerce telah menjamur di Indonesia, menawarkan aneka ragam produk mulai dari fashion, gadget dan elektronik, transportasi ride sharing, sampai dengan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Tidak bisa dipungkiri, kemajuan internet dan semakin teredukasinya masyarakat dengan teknologi menunjang suburnya kehadiran online shop dan perusahaan-perusahaan e-commerce.
Bisnis Fashion Tanpa Modal


E-commerce sendiri terdiri dari berbagai model bisnis. Di Indonesia, model bisnis marketplace (consumer to consumer) dan shop online (business to consumer) paling sering ditemui. Marketplace seperti Tokopedia, BukaLapak, Lazada, dan lain-lain memungkinkan masyarakat umum membuka toko online sendiri untuk memulai bisnis tanpa modal dan tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun untuk infrastruktur.

Semakin sengitnya kompetisi antar bisnis marketplace di Indonesia terlihat dengan berbagai macam promo, iklan, dan billboard yang seringkali kita jumpai sehari-hari. Di sisi konsumen, hal ini memberikan keuntungan berupa berbagai macam pilihan dan tentunya diskon. Namun, di sisi perusahaan, mereka dituntut untuk terus berinovasi untuk menjaga customer loyalty dan terus menambah jumlah customer.

Artikel kali ini akan membahas shopping orientation manusia pada umumnya dan bagaimana memanfaatkan informasi tersebut untuk kebutuhan marketing dan pengembangan bisnis. Sebagai masyarakat awam yang tertarik untuk memulai bisnis online tanpa modal, artikel ini juga bisa memberikan pengetahuan berharga.

Büttner dkk* dalam jurnalnya membagi orientasi shopping ke dalam dua kategori: task-focused dan experiential. Konsumen yang memiliki orientasi task-focused melihat kegiatan shopping sebagai suatu task yang harus diselesaikan seefisien mungkin. Sebaliknya, konsumen yang memiliki orientasi shopping experiential mencari stimulasi selama proses berbelanja dan melihat shopping sebagai suatu task yang menyenangkan. Büttner, Florack, dan Göritz menunjukkan bahwa orientasi shopping mempengaruhi bagaimana konsumen bereaksi terhadap pesan-pesan iklan: task-focused shoppers lebih menyukai iklan yang menyoroti efisiensi, sedangkan experiential shoppers cenderung menyukai stimuli-stimuli yang ditawarkan. Dalam teorinya, mereka menyatakan bahwa konsumen yang memiliki orientasi experiential shopping lebih besar kemungkinan memiliki pola pikir deliberative dalam konteks shopping dibandingkan konsumen dengan orientasi task-focused. Sebaliknya, konsumen yang memiliki orientasi task-focused shopping lebih besar kemungkinan memiliki pola pikir implemental dalam konteks shopping dibandingkan konsumen dengan orientasi experiential shopping. Namun, bukan berarti task-focused shoppers selalu berada dalam mindset implemental, dan experiential shoppers selalu berada dalam mindset deliberative. Secara umum, mereka memiliki kecenderungan pola pikir tersebut dalam konteks shopping (task-focused shoppers cenderung implemental, dan experiential shoppers cenderung deliberative). Informasi ini sangat berharga bagi marketing dalam pengembangan bisnis, pembuatan iklan dan campaign.

Aspek orientasi shopping (task-focused, experiential) dan pengaplikasian pola pikir/mindset dalam konteks shopping (implemental, deliberative) yang sesuai, dapat meningkatkan keinginan konsumen untuk melakukan transaksi. Dua aspek di atas sangat penting bagi pelaku e-commerce karena mereka bisa menyesuaikan suasana komunikasi dan konteks shopping ke dalam deliberative atau implemental mindset. Sebagai contoh, promosi diskon (dengan kondisi-kondisi tertentu) akan lebih efektif jika pola pikir konsumen yang lebih dominan ke arah deliberative.

Selanjutnya, pelaku e-commerce bisa juga membangun mindset yang kongruen dengan masing-masing konsumen berdasarkan orientasi shopping yang dimiliki melalui iklan atau direct mailing. Sebagai contoh, pesan yang disampaikan menyoroti aspek deliberative untuk konsumen experiential seperti keuntungan/kerugian dari berbagai macam opsi yang ditawarkan. Untuk konsumen dengan orientasi task-focused, pesan yang disampaikan menekankan pada aspek implemental seperti gratis ongkos kirim atau cicilan kartu kredit.

E-commerce besar seperti Tokopedia, BukaLapak, Lazada memiliki fitur sistem rekomendasi. Fitur ini kongruen dengan pola pikir deliberative karena bisa menambah kemungkinan komparasi produk-produk lain. Karena itu, fitur seperti ini sangat cocok untuk experiential shopper dalam keadaan deliberative mindset. Namun, bisa menjadi bumerang bagi task-focused shoppers. Untuk task-focused shoppers, pelaku e-commerce bisa memberikan layanan yang sifatnya implemental seperti opsi pembayaran dan opsi delivery. Secara keseluruhan, e-commerce memiliki banyak kemungkinan dalam menyesuaikan fitur dan layanan yang sesuai dengan mindset konsumen yang dihadapi.

Dari penjabaran di atas, ada satu pertanyaan penting, yaitu bagaimana caranya mengetahui orientasi shopping dari konsumen. Bagi pelaku e-commerce yang menjaring berbagai tipe konsumen, baik konsumen berorientasi shopping experiential maupun task-focused, informasi ini bisa didapatkan dengan menyaring informasi individual setiap pelanggan. Terlepas dari bagaimana cara mendapatkan informasi tersebut (survey, questionaire, pattern shopping, dll), sistem belanja online mempunyai peluang lebih besar dalam membangun mindset yang bersesuaian dengan orientasi shopping masing-masing konsumen (targeted experience) dibanding dengan toko konvensional (toko fisik).


Referensi
*Oliver B. Büttner, Arnd Florack, Anja S. Göritz. 2013. Shopping Orientation and Mindsets: How Motivation Influences Consumer Information Processing During Shopping. Psychology and Marketing, 30, 779–793.


Editor: Riko/NW

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Post a Comment

Thanks for reading! :)